Kali ini saya akan
share sedikit cerita rakyat yang terkenal di Salatiga dan Kabupaten Semarang, selain "Sate Lemak Khas Salatiga" dan "Nasi Goreng Super Semarang & Salatiga"
yaitu tentang Asal-Usul Rawa Pening. Cerita ini saya dapat pas mengikuti PPL (Program Pengalaman Lapangan) di SD Laboratorium Salatiga. Waktu itu saya diminta mengajar pelajaran Bahasa Indonesia tentang
cerita rakyat oleh Bu Kanthi (guru kelas
5), dan beliau memberikan cerita ini kepada saya. Tetapi saya sendiri
kurang begitu jelas beliau mendapatkan cerita ini dari mana atau dari siapa.
Asal-Usul Rawa Pening
Cerita rakyat rawa Pening terjadi pada tahun delapan saka
atau delapan Jawa. Saat itu Dewi Ariwulan yang tengah mengandung anak dari
seorang resi yang bernama Ki Hajar Sarwokartolo akan segera melahirkan. Anak
yang dilahirkan Dewi Ariwulan tidak berupa anak manusia, namun jabang bayi
seekor ular. Ia bisa berbicara seperti manusia pada umumnya. Setelah agak dewasa dia menanyakan
siapa bapaknya. Dewi mengatakan bahwa bapakmu adalah seorang resi yang bernama
Ki Hajar Sarwokartolo, yang sekarang dia sedang bertapa di gunung Sleker (Merbabu).
Setelah memohon doa restu pada sang ibu, ia berangkat
mencari bapaknya. Masyarakat mengetahui kalau ada naga yang menggunakan
klintingan dan berbunyi kalau ia berjalan maka mereka menyebut ular tersebut
dengan Baru Klinting. “Baru” berasal dari berasal dari kata “bra” yang artinya
keturunan Brahmana. Brahmana adalah seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi
dari pendeta.
Akhirnya Baruklinting sampai di gunung Sleker (Merbabu). Kemudian
menyerahkan dua benda pusaka sebagai bukti kalau ia adalah anak dari Ki Hajar.
Namun, Ki Hajar tidak mau mengakuinya sebagai anak. Ki Hajar akan mengakui
Baruklinting sebagai anak kalau ia mampu melingkari gunung Sleker. Akhirnya
Baruklinting bisa melingkari gunung tersebut, namun kurang saju jengkal. Dia mengulurkan
lidahnya, namun Ki Hajar memotong lidah Baruklinting. Kemudian Ki Hajar
menyuruh Baruklinting bertapa di gunung Gajah Mungkur selama satu minggu.
Suatu hari ada sebuah desa yang gemah ripah loh jinawi.
Setiap tahun mereka mengadakan tradisi budaya merti desa atau sedekah desa. Para
pemuda disuruh mencari hewan buruan di hutan. Namun, hari itu mereka tidak
mendapatkan satu pun ekor hewan buruan. Kemudian untuk melepas lelah, mereka
beristirahat di bawah pohon besar. Pada zaman dahulu kebiasan masyarakat adalah
nginang dengan buah jambe. Orang tersebut tidak menemukan landasan untuk
menumbuk, dia menggunakan tanah untuk sebagai landasannya. Beberapa saat
kemudian mereka melihat darah yang keluar dari dalam tanah.
Ternyata setelah digali, tanah tersebut merupakan daging
ular yang sangat besar. Lalu mereka memotong-motong daging raksasa tersebut dan
membawanya ke desa. Daging yang dibawa para pemuda tersebut merupakan tubuh
Baruklinting. Ia sedang bertapa di hutan tersebut. Kemudian Baruklinting
menjelma menjadi seorang anak yang lusuh dan kudisan.
Dia pergi ke desa yang
sedang mengadakan sedekah desa tersebut untuk meminta makanan. Namun, tak ada
satu pun penduduk yang memberinya makanan. Lalu ia pergi ke rumah seorang janda
tua yang biasa di panggil Mbok Randa. Hanya Mbok Randa satu-satunya orang yang
mau menolong dan memberi makan Baruklinting.
Baca juga : Wisata Alam di Muncul, Banyubiru, Semarang Setelah makan, Baruklinting berpamitan pada wanita itu untuk melihat pertunjukan wayang di balai desa. Di sana ia disia-sia lagi oleh penduduk. Kemudian ia mengadakan sayembara dengan menancapkan lidi di depan pendopo. Ia mengatakan siapa saja yang bisa mencabut lidi tersebut akan mendapat hadiah. Namun, kalau tidak ada yang bisa mencabutnya maka, malapetaka akan datang karena penduduk bersikap sombong dan tidak mempunyai sifat belas kasihan. Lalu, tidak ada seorang penduduk pun yang sanggup mencabut lidi itu.
Baruklinting kemudian mencabutnya sendiri. Pada saat lidi
tersebut dicabut, bumi bergetar, langit menjadi gelap, tempat dicabutnya lidi
tersbut keluarlah air yang sangat besar dan menggenangi desa tersebut. Mbok
Randa tersebut selamat karena sebelumnya Baruklinting telah berpesan kalau di
sebelah utara ada luapan air, Mbok Randa diminta masuk ke dalam lesung. Mbok
Randa ke barat dan menetap di daerah pegunungan.
Asal kata Rawa Pening merupakan pemberian Jaka Wening (Baruklinting) yang berasal dari bahasa Jawa ”Sok sopo wae sing bisa kraga nyawa lahir batin, isoh ngepenke lahane jagat, entok kawelasih kang Maha Wening” yang artinya “Barang siapa yang bisa menjaga lahir batin, menjaga jagat raya, dia akan mendapatkan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa”.
Semoga artikel tentang Cerita Rakyat Asal-Usul Rawa Pening di atas dapat bermanfaat bagi kawan-kawan :)
Asal kata Rawa Pening merupakan pemberian Jaka Wening (Baruklinting) yang berasal dari bahasa Jawa ”Sok sopo wae sing bisa kraga nyawa lahir batin, isoh ngepenke lahane jagat, entok kawelasih kang Maha Wening” yang artinya “Barang siapa yang bisa menjaga lahir batin, menjaga jagat raya, dia akan mendapatkan kasih sayang dari Yang Maha Kuasa”.
Semoga artikel tentang Cerita Rakyat Asal-Usul Rawa Pening di atas dapat bermanfaat bagi kawan-kawan :)
:)
BalasHapuscerita yang menarik.
saya lebih suka pesannya tentang menolong orang tanpa memandang seperti apa orang yang ditolong. hanya fokus pada menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
(saya ikhlas menulis komentarnya, hehe..)
Yuph, tepat sekali kawan... tumben sependapat :p
Hapusaku suka berdiskusi denganmu kawan. meski tidak selalu sependapat, tetapi kita bisa berdiskusi dengan kepala dingin. aku yakin dengan seperti itu justru malah bisa saling melengkapi untuk melihat hal-hal yang sama-sama terlewatkan dipikiran kita.
Hapuslagipula perbedaan itu indah. sama seperti indahnya pelangi yang mempunyai beragam warna. :)
Hehehe, semangat berbagi, berdiskusi, dan berpartisipasi kawan,
Hapussalam,
wah, gak sempat baca sekarang Pak, tar baca dikamar aja, ini udah saya simpan format doc,
BalasHapusHehehe.. Oke lah pak :)
Hapuswow,,, tanpa disadari indonesia bnyk skali legendanya..
BalasHapusKalau gak kaya akan legenda, bukan Indonesia namanya pak :)
Hapuslumayan nich buat tugas...mkasih sobat :)
BalasHapusSama-sama pak :)
Hapusagak beda dari jaman aku baca kala SD....
BalasHapusMemang terdapat beberapa perbedaan di antara legenda/cerita rakyat Rawa Pening yang beredar di kalangan masyarakat, tetapi tetap tidak menghilangkan poin penting dan esensi dari cerita rawa pening tersebut.
Hapus